Analisis Urgensi Penerapan Sponge City di Kota Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta

HMTPWK FT UGM
12 min readMay 6, 2021

--

Oleh: Audley Tania T.S, Rifqi Ananda G, dan Fania Dwi Kusumaningtyas (PWK UGM 2020)

Sumber: Earth.org

Pendahuluan

1.1. Urbanisasi di Kota Besar

Urbanisasi merupakan fenomena yang melanda kota — kota di Indonesia terutama kota — kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Urbanisasi, menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, adalah suatu proses kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan definisi kota menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Tingkat urbanisasi Indonesia diprediksi meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2035 diprediksi 66,6% dari seluruh populasi Indonesia akan tinggal di lingkungan perkotaan (BPS,2020). Indonesia juga disebut sebagai negara dengan tingkat urbanisasi tercepat se-Asia (Isyanah, 2021).

Tingkat urbanisasi yang tinggi diikuti dengan perkembangan infrastruktur guna mendukung aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Pembangunan infrastruktur ini meliputi pembangunan permukiman, apartemen, dan fasilitas publik maupun privat dengan tujuan pemenuhan kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Urbanisasi sendiri memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya yaitu dapat memacu pertumbuhan ekonomi karena kota-kota tersebut akan menjadi magnet bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Sementara itu, dampak negatifnya meliputi pembangunan permukiman dan perumahan yang tidak terencana atau fenomena urban sprawl yang berdampak buruk terhadap lingkungan yang dapat mengakibatkan kepadatan tinggi, kekumuhan, kemacetan, dll (Mardiansjah dan Rahayu, 2019). Proses urbanisasi yang cepat, secara terus menerus membawa perubahan pada populasi yang lebih besar, pelayanan perkotaan, produksi, konsumsi, dan kesejahteraan sosial. Hal ini telah terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia sehingga membuat kota rentan dan tidak mampu mencapai pembangunan berkelanjutan dan memberikan standar hidup yang nyaman bagi penduduk perkotaan (Chen, Tao, dan Zhang, 2009).

Urbanisasi yang cepat diiringi dengan pertumbuhan yang cepat pula menghasilkan pembangunan berdampak tinggi (high impact development) yang berupa konversi lahan besar-besaran dan pembangunan perkotaan-pedesaan ini dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Urbanisasi yang pesat, meskipun mengarah ke peningkatan kekayaan ekonomi dan sosial, juga meningkatkan jumlah orang dan aset yang terpapar bencana terkait air (water related disaster) (Zevenbergen, 2019). Bencana yang berhubungan dengan air, seperti banjir, telah menjadi lebih dahsyat daripada di masa lalu karena konsentrasi penduduk yang berlebihan (Zevenbergen, 2019). Indonesia sendiri telah mengalami sebanyak 493 bencana banjir (hampir 40% dari total bencana alam di Indonesia) dalam kurun waktu Januari — April tahun 2021 dan beberapa titik banjir terjadi di kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Banjir di Indonesia mengakibatkan 370 orang meninggal dunia serta kerusakan material yaitu 40 ribu unit rumah rusak. Data tersebut belum termasuk kerusakan fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadat, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendukung lainnya (CNBC, 2019). Bencana banjir yang kerap terjadi di kota-kota di Indonesia merupakan salah satu pertanda kurangnya kapasitas kota besar di Indonesia untuk beradaptasi dengan cuaca yang tidak stabil karena krisis iklim. Kurangnya kapasitas untuk beradaptasi dapat meningkatkan risiko bencana terkait air kota karena kombinasi dari “ketidaksempurnaan” proses pembangunan perkotaan yang terjadi saat ini (Zevenbergen, 2010):

  1. Penambahan dan perluasan pembangunan perkotaan ke dataran banjir dan dataran rendah mengakibatkan hilangnya kapasitas retensi air alami di daerah pinggiran kota;
  2. Pembangunan kembali dan pemadatan daerah terbangun melalui “pengisi” dari sisa ruang terbuka (hijau/biru), yang mengarah ke peningkatan kepadatan secara keseluruhan dan peningkatan permukaan selanjutnya penyegelan dan gangguan saluran drainase alami; dan
  3. Meningkatnya saling ketergantungan pada infrastruktur yang lebih terdiversifikasi dan pengurangan margin keselamatan karena pemeliharaan yang ditunda.

Menjadi semakin penting bahwa kota harus membangun kapasitas untuk beradaptasi secara proaktif dengan perubahan cepat yang mereka hadapi saat ini dan untuk mengantisipasi serta menangani gangguan dan guncangan yang disebabkan oleh tingkat urbanisasi yang cepat juga peristiwa cuaca ekstrem. Kota harus mengadopsi solusi yang fleksibel, mudah beradaptasi, dan terdistribusi untuk pengelolaan air perkotaan, yang tertanam dalam strategi integratif dan adaptif jangka panjang (Gersonius, et al,2012; Klijn, et al., 2015). Salah satu strategi yang diterapkan kota — kota global north untuk meningkatkan kapasitas beradaptasi pada perubahan adalah strategi pengembangan yang minim dampak (Low Impact Development). Strategi yang menerapkan konsep ini adalah Sponge City yang diterapkan China. Sponge City mengacu pada pembangunan perkotaan berkelanjutan termasuk pengendalian banjir, konservasi air, peningkatan kualitas air dan perlindungan ekosistem alami. Hal ini berarti sebuah kota dengan sistem air yang beroperasi seperti spons untuk menyerap, menyimpan, infiltrasi, dan memurnikan air hujan kemudian melepaskannya untuk digunakan kembali bila dibutuhkan (MHURD, 2020). Sponge city juga terinspirasi dari green infrastructure di AS (US EPA, 2019; Benedict, 2002) dan water sensitive urban design (WSUD) di Australia (Sharma, 2016).

1.2. Prinsip dari Design Sponge City

I.2.1. Prinsip Kecerdasan (Resourcefulness)

Kecerdasan yaitu kemampuan untuk mengenali cara alternatif untuk menggunakan sumber daya yang tertanam dalam pengaturan perkotaan untuk mempersiapkan situasi ekstrem, daripada menggunakan metode konvensional seperti pembangunan waduk. Strategi ini juga bertujuan untuk mengubah elemen perkotaan menjadi elemen multifungsi sekaligus mengoptimalkan ruang.

I.2.2. Prinsip Ketahanan (Robustness)

Kekokohan yaitu pengurangan variasi elemen perkotaan tanpa menghilangkan penyebabnya variasinya.

I.2.3. Prinsip Redundansi (Redundancy)

Strategi perancangan dengan redundansi mensyaratkan bahwa sistem yang dirancang memiliki kapasitas yang lebih besar dari yang diperlukan. Kapasitas yang dibutuhkan dikalikan dengan faktor keamanan tertentu, atau dirancang untuk kriteria desain yang sedikit lebih besar dari yang dibutuhkan. Karena perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan intensitas curah hujan, sistem dapat dirancang untuk kejadian curah hujan yang lebih tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi penerapan Sponge City di Kota Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Data-data yang dianalisis meliputi tingkat curah hujan dan keberadaan ruang terbuka hijau. Selain itu, intensitas terjadinya banjir di kota-kota tersebut juga menjadi pertimbangan dalam menilai urgensi penerapan sponge city. Tidak hanya menganalisis aspek-aspek internal, tulisan ini juga memberikan contoh kota-kota yang sudah menerapkan konsep sponge city serta dampak-dampak yang dihasilkan dari konsep tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode literature review atau tinjauan pustaka. Penelitian kepustakaan atau kajian literatur atau tinjauan pustaka (literature review, literature research) merupakan metode penelitian yang didapatkan melalui mengkaji atau meninjau secara kritis temuan, gagasan, serta pengetahuan yang didapatkan dari literatur yang berorientasi akademik (academic-oriented literature), serta merumuskan kontribusi teoritis dan metodologisnya untuk topik tertentu. Sifat dari metode penelitian ini adalah analisis deskriptif, yaitu penguraian serta penjelasan secara teratur data yang telah diperoleh, kemudian diberikan pemahaman agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Literatur yang digunakan dapat berupa paper, jurnal ilmiah, serta berita yang terpercaya. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode analisis data sekunder tanpa melakukan pengumpulan data secara langsung seperti wawancara, survei dan observasi lapangan. Sumber data sekunder yang digunakan berasal dari sumber terpercaya seperti BPS, Bappenas, pemerintah daerah maupun laporan bulanan perusahaan.

Data dan Analisis

4.1. Analisis Data Curah Hujan

Analisis data curah hujan di kota-kota tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui kecenderungan curah hujan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, curah hujan juga sangat mempengaruhi potensi terjadinya bencana banjir. Pada umumnya semakin tinggi curah hujan di suatu kota, maka semakin tinggi pula kemungkinan kota tersebut mengalami banjir. Data-data ini merupakan data sekunder yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Berdasarkan data jumlah curah hujan per tahun dari 2006–2015 yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik, diketahui bahwa jumlah curah hujan per tahunnya di empat kota tersebut cenderung fluktuatif. Jumlah curah hujan Kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 2015 mengalami peningkatan yang sangat signifikan apabila dibandingkan dengan tahun 2006 meskipun sempat terjadi beberapa kali penurunan. Hal yang hampir serupa dialami Kota Yogyakarta walaupun peningkatannya tidak terlalu signifikan. Sementara itu, jumlah curah hujan tahun 2006 dan 2015 di Kota Semarang perbedaannya tidak terlalu jauh tetapi selama periode tersebut fluktuasi jumlah curah hujannya cukup ekstrem. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan di empat kota tersebut dalam jangka waktu yang panjang akan terjadi peningkatan. Selain itu, fluktuasi jumlah curah hujan juga sangat mungkin terjadi bahkan dengan nilai cukup ekstrem sekalipun.

4.2. Analisis Keberadaan Ruang Terbuka Hijau

Keberadaan RTH atau ruang terbuka hijau memiliki peran yang sangat penting untuk menentukan apakah suatu kota perlu menerapkan konsep sponge city atau tidak. Hal ini dikarenakan salah satu fungsi dari RTH adalah fungsi ekologis. Fungsi ekologis ini terdiri atas peran RTH sebagai penyerap karbon yang ada di udara dan juga sebagai area resapan air. Memanfaatkan fungsi tersebut, pemerintah melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan perencanaan tata ruang wilayah kota harus memiliki RTH yang luasnya 30% dari total luas wilayah kota tersebut.

Namun, pada kenyataannya hanya Kota Semarang yang berhasil memenuhi amanat tersebut, sedangkan Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta luas RTH-nya masih kurang dari 30% dari total luas wilayahnya. Luas RTH di Jakarta sendiri masih sangat jauh dari target, yaitu masih kurang dari 10%. Angka tersebut diikuti oleh Kota Yogyakarta dengan luas RTH 19% dari luas kotanya dan Kota Surabaya di angka 21,99%. Sementara itu, Kota Semarang sudah memiliki RTH dengan luas 40% dari total luas wilayahnya. Akan tetapi, RTH tersebut sebagian besar berada di kawasan pinggiran seperti Gunung Pari dan Mangkang, sedangkan di pusat perkotaannya masih sangat minim. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta masih kekurangan area ruang terbuka hijau.

4.3. Analisis Bencana Banjir yang Pernah Terjadi

Banjir merupakan indikator terpenting untuk menentukan apakah sebuah kota perlu diterapkan konsep sponge city atau tidak. Kenyataannya, saat ini, banjir sudah seperti rutinitas di berbagai kota di Indonesia. Ibukota Negara Indonesia, Jakarta, menjadi salah satu kota langganan banjir setiap tahunnya. Banjir terkini terjadi pada 28 April 2021 di Jakarta Timur tepatnya di kawasan Ciracas. Banjir tersebut diakibatkan oleh luapan aliran Kali Cipinang setelah hujan.

Ibukota Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, pada 5–7 Februari 2021 mengalami banjir yang parah. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, terdapat 43 titik area di Semarang yang terkena banjir. Banjir ini dipicu oleh hujan yang berintensitas tinggi dan drainase yang kurang baik sehingga aliran air dari hulu ke hilir di Kota Semarang terhambat. Di sisi lain, banjir juga disebabkan oleh daerah resapan air yang semakin berkurang dikarenakan pengalihan guna lahan menjadi hotel, bandara, hingga pusat perbelanjaan.

Sementara itu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terjadi banjir pada 18 Maret 2021. Banjir ini diakibatkan oleh hujan deras yang mengguyur wilayah Yogyakarta secara merata dari siang hingga sore hari. Berdasarkan data dari BPBD Kota Yogyakarta, mencatat bahwa Kabupaten Bantul dan Kulon Progo terkena dampak banjir ini. Di Kelurahan Warungboto, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, banjir menggenangi kawasan rumah warga hingga setinggi betis orang dewasa. Air yang masuk ke permukiman warga merupakan kiriman dari luapan Sungai Gajahwong.

Hujan lebat juga mengguyur Kota Surabaya pada awal tahun 2021 ini. Tercatat pada 27 Februari 2021 terjadi banjir yang merendam sejumlah ruas jalan. Ketinggian banjir berkisar antara 20 cm — 50 cm. Ruas jalan yang terendam yaitu Jalan Panglima Sudirman, Majapahit, Urip Sumohardjo, Raya Lontar, Pucang Anom, Ploso Timur, Teluk Kumai Barat, Margomulyo Indah, Dharmawangsa, Gubeng Kertajaya, Kalijudan, Darmo Indah Asri, Petemon, Mulyosari, Raya Kenjeran, Tambak Bening, Pucang Anom Timur, dan Demak. Banjir yang sering terjadi di Surabaya tidak hanya dikarenakan oleh curah hujan yang tinggi, tetapi juga disebabkan oleh kurangnya lahan terbuka yang dapat digunakan untuk penyerapan air limpasan hujan.

Dari contoh-contoh peristiwa banjir di empat kota tersebut, setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama yaitu intensitas hujan yang cukup tinggi dan yang kedua adalah berkurangnya daerah resapan air akibat pengalihan tata guna lahan. Dari hal tersebut, diharapkan pemerintah dapat lebih bijak dalam mengatur tata ruang dan wilayahnya. Termasuk bagi para ahli perencana untuk lebih memperhatikan penguatan ekonomi serta infrastruktur, yang memperhatikan pelestarian lingkungan melalui penataan ruang berkelanjutan.

4.4. Contoh Penerapan Sponge City

Negeri Tirai Bambu atau China kini telah menerapkan konsep kota spons atau sponge city. Penerapan konsep sponge city ditujukan untuk mengatasi permasalahan ekstraksi air tanah yang berlebihan, degradasi jalur air, dan banjir di perkotaan di China. Pemerintah China dengan serius mewujudkan kota spons sejak diluncurkan pada 2015. Konsep kota spons diterapkan di 30 kota seperti Shanghai, Wuhan, dan Xiamen. Dalam penerapannya, kota Nanhui New City di Pudong, Shanghai akan menjadi kota spons paling besar.

Pemerintah kota di China memulai program kota sponsnya dengan menanam tumbuhan di atap gedung, membangun tanah basah untuk gudang air hujan, serta mengonstruksi jalan berpori yang dapat ditembus air (permeable). Tanah basah dan bioswales menjadi suatu program yang wajib bagi kota — kota di China. Selain itu, dari perusahaan utilitas Suez Environment, mulai memasang sistem drainase baru sepanjang tujuh mil persegi di Chong Qing. Sementara itu, otoritas terkait pemerintah lokal dapat mengawasi selokan dan gorong — gorong secara real time untuk memitigasi risiko banjir, yang dilakukan melalui pemasangan sensor.

Inisiatif program sponge city mengalami beberapa tantangan seperti kurangnya keahlian pemerintah daerah untuk mengkoordinasikannya secara efektif dan mengintegrasikan serangkaian kegiatan yang sedemikian kompleks serta adanya permasalahan keuangan di China. Kemudian, untuk mengatasi hal tersebut China mulai menarik pasar dengan memberikan pilihan investasi dengan inisiatif air yang inovatif yang telah diadopsi di negara lain, seperti sistem pembilasan menggunakan air atap yang dikumpulkan di Oregon USA, restorasi lahan basah di Midwest Amerika, bioswales di Singapura dan ruang publik yang difasilitasi dengan retensi air yang fleksibel di Belanda.

Ambisi besar China untuk menerapkan konsep sponge city melalui kebijakan maupun praktik pengelolaan air perkotaan yang berkelanjutan, digunakan dengan baik hingga sekarang ini. Konsep ini memberikan dampak yang baik bagi pengelolaan masalah air yang dikelola oleh Kementerian Sumber Daya Air dan penanganan untuk pencemaran air yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Demikian pula tertanganinya masalah vegetasi, dan deforestasi (yang didalamnya melibatkan siklus air tanah dan erosi tanah) yang dikelola oleh kementerian kehutanan serta perencanaan lahan yang baik melalui Kementerian Perencanaan dan Biro Konstruksi. Penerapan sponge city juga berhasil mempercepat tercapainya target China yaitu dapat menyerap 70% air hujan dari yang sebelumnya hanya menyerap 20% air hujan di wilayah perkotaan.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis terhadap berbagai aspek yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa urgensi penerapan konsep sponge city di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan curah hujan di keempat kota tersebut dalam jangka waktu yang panjang akan terjadi peningkatan dan fluktuasi jumlah curah hujan sangat mungkin terjadi, bahkan dengan nilai cukup ekstrim sekalipun. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya ruang terbuka hijau di keempat kota tersebut yang mengakibatkan kurangnya daerah resapan air. Parahnya banjir yang terjadi akibat curah hujan yang tinggi dan kurangnya daerah resapan air di kota-kota itu juga menjadi alasan yang cukup kuat untuk segera menerapkan konsep sponge city. Selain itu, dampak-dampak positif yang dialami oleh kota-kota di China mulai dari efektivitas pengelolaan masalah air dan penanganan pencemaran air, hingga meningkatnya daya serap lahan-lahan di perkotaan terhadap air hujan dapat menjadi acuan untuk merealisasikan konsep sponge city di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2017. “Jumlah Curah Hujan Dan Jumlah Hari Hujan Di Stasiun Pengamatan BMKG 2000–2010”. https://www.bps.go.id/.

Badan Pusat Statistik. 2017. “Jumlah Curah Hujan Dan Jumlah Hari Hujan Di Stasiun Pengamatan BMKG 2011–2015”. https://www.bps.go.id/.

Benedict, Mark dan McMahon, Edward. 2002. “Green infrastructure: Smart Conservation for The 21st Century”. Renewable Resources Journal 20: 12–17.

Chan, Faith, dkk. 2018. “Sponge City in China — A Breakthrough of Planning and Flood Risk Management in The Urban Context”. Land Use Policy 76: 778–788. doi:10.1016/j/landusepol.2018.03.006

Detik. 2021.”Jakarta Diguyur Hujan, Genangan Muncul Di Cipinang Melayu-Ciracas”. Detiknews. Diakses 1 Mei 2021 dari https://news.detik.com/.

Chandra, Ida. 2019. “Menciptakan Kota Ramah Air (Sponge City and Metabolism City)”. Balai Wilayah Sungai Bali-Penida.

Gersonius, Berry dkk. 2012. “Developing The Evidence Base for Mainstreaming Adaptation of Stormwater Systems to Climate Change”. Water Research 46 (20): 6824–6835.

Hakim, Abdul. 2021. “Ruang Terbuka Hijau Di Surabaya Capai 21,99 Persen”. Antara News. Diakses 1 Mei 2021 dari https://www.antaranews.com/.

Hapsari, Jessica. 2021. “Penyebab Banjir Semarang 2021: Apakah Hanya Curah Hujan Tinggi?”. Tirto.Id. Diakses 1 Mei 2021 dari https://tirto.id/.

Isyanah, A., 2021. Urbanisasi Melaju Cepat, Kita Bisa Apa?. [online] detiknews. Available at: <https://news.detik.com/kolom/d-5233999/urbanisasi-melaju-cepat-kita-bisa-apa> Diakses 29 April 2021].

Klijn, Frans dkk. 2015. “Adaptive Flood Risk Management Planning Based on A Comprehensive Flood Risk Conceptualisation”. Mitig, Adapt, Strateg, Glob, Chang 20: 845–864.

Mardiansjah, F. dan Rahayu, P. 2019. “Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia: Suatu Perbandingan Antar-Wilayah Makro Indonesia”. Jurnal Pengembangan Kota 7 (1): 91–110.

.Ministry of Housing and Urban-Rural Development (MHURD). Technical Guide for Sponge Cities — Water System Construction of Low Impact Development. Diakses 1 Mei 2021 dari http://www.mohurd.gov.cn/

Prakoso, Panji, dan Herdiansyah, Herdis. 2019. “Analisis Implementasi 30% Ruang Terbuka Hijau Di DKI Jakarta”. Majalah Ilmiah Globe 21 (1): 17–26. doi:10.24895/MIG.2019.21–1.869.

Rahman, Kholiq. 2019. “Dampak Hujan di Wilayah D.I.Yogyakarta”. Diakses 1 Mei 2021 dari http://bpbd.jogjaprov.go.id/

Shamil, Muh. 2018. “Konsep Kota Spons Negeri Tirai Bambu yang Layak Diadopsi”. Diakses 1 Mei 2021 dari http://pdamtirtabenteng.co.id/

Sharma, Ashor dkk. 2016. “Water Sensitive Urban Design: An Investigation of Current Systems, Implementation Drivers, Community Perceptions and Potential to Supplement Urban Water Services”. Water 8: 272.

Syarief, Ika. 2021. “Hujan Lebat, Sejumlah Ruas Jalan di Surabaya Terendam Banjir”. Suarasurabaya. Diakses 1 Mei 2021 dari https://www.suarasurabaya.net/

Supratiwi. 2018. “Studi Ruang Terbuka Hijau Dalam Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Semarang”. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 3 (2): 89–98. doi:10.14710/jiip.v3i2.3878.

Tribun. 2021. “Laporan BPBD: Banjir hingga Talut Ambrol Akibat Hujan Deras Mengguyur Wilayah Yogyakarta”. TribunJogja. Diakses 1 Mei 2021 dari https://jogja.tribunnews.com/

United States Environmental Protection Agency (US EPA). Low-Impact Development Design Strategies: An Integrated Design Approach; EPA 841-B-00003; US EPA: Washington, DC, USA, 1999.

Wicaksono, Pribadi. 2021. “Kiat Pemkot Yogyakarta Membuat Wilayahnya Makin Asri”. Tempo. Diakses 1 Mei 2021 dari https://travel.tempo.co/.

Zevenbergen, Chris dkk. Urban Flood Management. Boca Raton: CRC Press. 2010. ISBN 139780415559447.

--

--

HMTPWK FT UGM
HMTPWK FT UGM

Written by HMTPWK FT UGM

Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.